BAGAIMANA HUKUMNYA APABILA SESEORANG MENINGGAL TETAPI MASIH MEMILIKI HUTANG BERPUASA?

Assalamualaikum wr.wb.

Saudaraku sekalian umat muslim, terkadang kita memiliki beberapa pertanyaan mengenai hukum islam, berikut saya sampaikan hukum apabila seseorang telah meninggal tetapi beliau masih memiliki hutang berpuasa.


Barang siapa meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan kewajiban membayar puasa (qadla) karena adanya udzur syar’i (misalnya sakit), maka baginya tidak berdosa. Dan bagi ahli waris yang ditinggalkan tidak wajib membayar fidyah.Sedangkan bilamana penangguhan kewajiban membayar puasa (qadha) itu disengaja atau tanpa ada unsur udzur syar’i, maka kerabat yang ditinggalkannya berkewajiban untuk membayar fidyah bagi si mayit dengan ketentuan satu hari satu mud.

Tetapi menurut qaul qadim Imam Syafi’i dianjurkan bagi si wali mayit untuk melakukan puasa sebagai pengganti dari kewajiban yang ditingggalkan si mayit. Sebagai mana yang tertera dalam kitab Syarah Muadz-dzab, dan Imam Nawawi membenarkan dalam kitab Raudhah dengan lebih memilih pendapat qaul Qadim tersebut.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ 

Dari Aisyah r.a; Rasulullah s.a.w, bersabda: siapa meninggal dunia dan ia meninggalkan kewajiban (qada)berpuasa, maka ahli warisnya diwajibkan berpuasa untuk menggantikan kewajiban puasanya”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Dan hadits yang lain menjelaskan hal yang sama dengan hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah r.a tersebut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ امْرَاَةً قَالَتْ: يَارَسُولَ اللهِ اَنَّ اُمِّي مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ اَفَاَصُوْمُ عَنْهَا ؟ قَالَ: اَرَاَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتُهُ اَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكَ عَنْهَا ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ فَصُوْمِى عَنْ اُمِّكِ 
Dari Ibnu Abbas r.a: sesungguhnya ada seorang perempuan telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “ya Rasulullah s.a.w, sesungguhnya ibuku telah meninggal duniam dan ia meninggalkan keajiban puasa nadzar yang belum sempat ia tunaikan, apakah aku boleh berpuasa untuk menggantikannya?” rasulullah s.a.w, menjawab;”apakah pendapatmu, kalau seandainya ibumu mempunya hutang, dan kamu membayarnya. Apakah hutangnya terbayarkan?”. Perempuan tadi, menjawab: “ia”. Dan Nabi s.a.w, bersabda: “berpuasalah untuk ibumu”. (Hadits Shahih, riwayat Muslim).

Wassalamualaikum wr.wb. 
Sumber Refrensi : http://islamic-indo.blogspot.com/2013/07/bagaimana-hukumnya-apabila-seseorang.html

Maulid Bid`ah ? Yang bilang Bahlul.....


Maulid Bid`ah ? Yang bilang Bahlul.....
Siapa yang bilang Maulid itu Bid`ah ? Itu orang dah Bahlul.. Ni di baca....

Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi SAW
oleh :


Sayyid Muhammad Al-Maliki


Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena
kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya? — Red.al-Kisah)

Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmat-Nya yang terbesar kepadanya.

Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah Al-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58).

Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).

Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.

Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).

Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.

Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.

Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, baik fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk pengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan.” Hal itu menunjukkan dimuliakan-nya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari dilahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulia?

Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, ia pun baik di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.

Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalil-dalil syara’.

Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umur, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).

Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perincian-perincian amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincinan amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji.”

Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemungkaran, itu termasuk ajaran agama.

Kedua puluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan mungkar yang tercela, yang wajib ditentang.

Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tak diridhai shahthul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut. [infokito]

Wallahu a’lam

Wabillahi taufik wal hidayah





Senyum Adalah Sedekah

Assalaamu'alaikum warohmatulloh wabarokaatuh.

SubhanAllah, semoga sahabatku selaiu dalam kenikmatan taat...aamiin. 
Sahabatku, ketahuilah tanda yg tampak terlihat pertama seorang mu'min setelah ucapan salamnya adalah "Attabassum" MURAH SEN
YUMNYA, Rasulullah bersabda," Senyummu pada saudaramu adalah sedekah", dalam kesempatan lain beliau berwasiat, "Jangan sekali-kali kalian meremehkan suatu kebaikan, walau hanya berupa keceriaan wajah ketika kalian bertemu dengan sahabat kalian" (HR Muslim), & beliau juga mengingatkan kepada "Al abuus", "Orang yang bermuka masam & tidak membuat orang lain gembira adalah orang yang tidak memiliki nilai kebaikan disisi ALLAH". Indahkan ISLAM itu sahabatku, itulah yang membuat kita bahagia ber-ISLAM, karena orang beriman itu SANGAT BAHAGIA dengan KEISLAMANNYA & terpancar selalu pada wajahnya, "a litlle thing but i never forgot you, couse yours smile", SUBHANALLAH, Senyumlah...senyumlah...senyumlah seperti RASULULLAH, sahabatku.

Wassalamu'alaik um warohmatullohi wabarokatuh

Mohon dibagikan
sahabatku,janga n biarkan pahala berhenti dikita saja..

RASULULLAH bersabda, "Barang siapa
yang mengajak kepada petunjuk ALLAH, maka
baginya ada pahala yang sama dengan pahala
orang yang
mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun
juga dari pahala-pahala mereka".HR Muslim

1satucoretanku.blogspot.com

Memberi Tanpa Pamrih


Kalau ada satu kata indah di antara kata indah lainnya, kata indah itu adalah “tulus”. Lawan katanya adalah pamrih. Sama dengan kata “jujur” kata ketulusan sama-sama kata yang lebih banyak berada di buku-buku cerita atau dongeng pengantar tidur. Kata yang nyaris punah karena semakin langka orang yang menyematkan ketulusan dalam setiap perbuatannya.

Saya sendiri sulit menilai, tidak berani, apakah semua yang saya katakan dan lakukan sepanjang hidup ini telah berbingkai ketulusan. Karena merasa jerih, kadang masih saja ada kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak tatkala saya tak mendapatkan apa-apa dari yang saya perbuat. Mengeluh, mengumpat, bahkan bersumpah atas nama Allah atas ketidakadilan yang saya terima. Padahal, siapa suruh saya berharap kepada manusia? Atau, mungkinkah saya tak lagi dapat membingkai semua pekerjaan saya dalam ketulusan, sehingga apapun yang saya lakukan mesti berbuah keuntungan?

Ketulusan sering diibaratkan sebagai kertas putih. Ketulusan itu sesuatu yang hadir begitu saja, tanpa pretensi atau kepentingan apa pun untuk melakukan sesuatu. Ia seperti mata air yang mengalir dari kedalaman hati dengan sendirinya. Ia bening adanya.

Bening berati tidak berwarna. Dari sudut pandang tradisi spiritual, ia bebas dari merah, jingga, kuning, dan bahkan putih; warna-warna yang menyimbolkan nafsu amarah, nafsu kepemilikan, nafsu kepada lawan jenis, sampai nafsu yang sebetulnya paling ilahiah, yakni nafsu untuk mengumpulkan sebanyak mungkin nilai kebenaran. Bening dapat diwarnai oleh apa saja, tetapi ia juga menghadirkan semua warna seperti adanya.

Seperti halnya air bening yang selalu menjadi tujuan dahaga yang sangat, ketulusan juga menjadi dambaan jiwa yang kering. Ketulusan, siapa sangka, adalah harta yang esensial. Mungkin seseorang akan bahagia dengan memiliki uang, pangkat, atau jabatan. Tetapi, bahagia karena uang, pangkat, atau kedudukan itu baru kemungkinan. Bahagia karena ketulusan adalah kepastian.

Hadirnya ketulusan dalam hati, mengisyaratkan kondisi hati yang sederhana. Sederhana dari pretensi, kepentingan, atau hasil apa pun selain nikmatnya merasakan ketulusan itu saja, yang mengalir begitu saja. Nikmat itu membuat orang yang sedang tulus menjadi “trans” berpindah, hilang ingatan, lupa bahwa di ujung amal perbuatannya yang tulus, ada hasil lain yang layak ditagih olehnya selain sejuknya ketulusan itu sendiri.

Uniknya, di sinilah agaknya keadilan Allah hadir dengan feminin, lembut; tidak dengan berwibawa dan bermuatan ancaman atau hukuman, tetapi dengan bersahaja, bertaburkan keindahan dan keharuan. Kehadiran keadilan Allah seperti ini membuat sesuatu yang sederhana menjadi tidak sederhana: menjadi bermakna, dan abadi dalam ingatan.

Seperti kisah sahabat saya beberapa waktu lalu. Ia berdiri menunggu bus di halte, seperti biasa. Kepalanya dipenuhi oleh agenda program pekerjaan dan pemikiran yang harus diselesaikannya, seperti biasa. Yang tidak biasa adalah ketika seorang perempuan tua, yang mungkin lupa banyaknya uang yang telah disimpan di dompetnya, kehabisan uang dan mengulurkan tangan kepadanya: meminta. Teman saya itu sebetulnya orang yang paling berhati-hati untuk menyambut “peminta-minta”. Tetapi, ketulusan tiba-tiba memabukkannya sehingga ia sodorkan sepuluh ribu rupiah dari dompetnya, begitu saja. Lalu, karena sedang “mabuk” tentu saja ia lupa. Esoknya, ia baru sadar sesuatu yang abadi baru saja menyapanya dengan begitu nyata ketika di trotoar, selembar uang sepuluh ribu tak bertuan tersangkut di sepatunya, menjadi miliknya.

Seorang sahabat saya yang lain, juga punya pengalaman serupa. Isterinya, menawarkan dua buah sepeda bekas kepada tukang sampah langganan. “Dijual harganya nggak seberapa, lebih baik diberikan kepada yang membutuhkan. Semoga lebih ada nilainya,” timbang isterinya.

Si tukang sampah tak menampik. Belum beranjak tukang sampah itu dari rumah, isterinya teringat belum mengeluarkan sedekah bulan tersebut. Ia berikan sekalian ke tukang sampah. Haru dan nyaris tak sanggup membendung bulir air yang siap tumpah dari pelupuk mata ketika sang isteri mendengar ungkapan menggetarkan dari tukang sampah. “Alhamdulillah”, makan anak dan isteri dua Jumat ke depan terjamin nih, Bu, terima kasih. Jumat yang berkah buat saya, semoga hari ini keberkahan juga untuk ibu sekeluarga,” tuturnya berdoa. Uang tak seberapa, bagi orang lain, ternyata memberi jaminan hidup dua pekan!

Sore harinya, ketika teman saya mengambil tabungan di ATM, saldo tabungannya bertambah hampir enam kali dari yang pagi tadi dikeluarkan isterinya. Rupanya Jumat itu tidak hanya berkah bagi bapak tukang sampah, tapi juga keluarga sahabat saya. Mungkinkah Allah menjawab doa tukang sampah tersebut? Hanya Allah yang tahu.

Anda, masing-masing kita, saya yakin punya pengalaman pribadi tentang laku ketulusan itu. Ketulusan yang mengalir begitu saja, lantas menghadir-kan balasan yang manis. Minhaitsu laa-yahtasib, dari arah yang tiada disangka-sangka.

 Subhanallah, ketulusan itu sebetulnya sudah mengalir deras, tidak ada habisnya, dari balik tanah, bebantuan, dan hati Anda. Sudahkah Anda rasakan nikmatnya? Tak inginkah Anda mendapatkannya?

1coretanku.blogspot.com