Memberi Tanpa Pamrih


Kalau ada satu kata indah di antara kata indah lainnya, kata indah itu adalah “tulus”. Lawan katanya adalah pamrih. Sama dengan kata “jujur” kata ketulusan sama-sama kata yang lebih banyak berada di buku-buku cerita atau dongeng pengantar tidur. Kata yang nyaris punah karena semakin langka orang yang menyematkan ketulusan dalam setiap perbuatannya.

Saya sendiri sulit menilai, tidak berani, apakah semua yang saya katakan dan lakukan sepanjang hidup ini telah berbingkai ketulusan. Karena merasa jerih, kadang masih saja ada kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak tatkala saya tak mendapatkan apa-apa dari yang saya perbuat. Mengeluh, mengumpat, bahkan bersumpah atas nama Allah atas ketidakadilan yang saya terima. Padahal, siapa suruh saya berharap kepada manusia? Atau, mungkinkah saya tak lagi dapat membingkai semua pekerjaan saya dalam ketulusan, sehingga apapun yang saya lakukan mesti berbuah keuntungan?

Ketulusan sering diibaratkan sebagai kertas putih. Ketulusan itu sesuatu yang hadir begitu saja, tanpa pretensi atau kepentingan apa pun untuk melakukan sesuatu. Ia seperti mata air yang mengalir dari kedalaman hati dengan sendirinya. Ia bening adanya.

Bening berati tidak berwarna. Dari sudut pandang tradisi spiritual, ia bebas dari merah, jingga, kuning, dan bahkan putih; warna-warna yang menyimbolkan nafsu amarah, nafsu kepemilikan, nafsu kepada lawan jenis, sampai nafsu yang sebetulnya paling ilahiah, yakni nafsu untuk mengumpulkan sebanyak mungkin nilai kebenaran. Bening dapat diwarnai oleh apa saja, tetapi ia juga menghadirkan semua warna seperti adanya.

Seperti halnya air bening yang selalu menjadi tujuan dahaga yang sangat, ketulusan juga menjadi dambaan jiwa yang kering. Ketulusan, siapa sangka, adalah harta yang esensial. Mungkin seseorang akan bahagia dengan memiliki uang, pangkat, atau jabatan. Tetapi, bahagia karena uang, pangkat, atau kedudukan itu baru kemungkinan. Bahagia karena ketulusan adalah kepastian.

Hadirnya ketulusan dalam hati, mengisyaratkan kondisi hati yang sederhana. Sederhana dari pretensi, kepentingan, atau hasil apa pun selain nikmatnya merasakan ketulusan itu saja, yang mengalir begitu saja. Nikmat itu membuat orang yang sedang tulus menjadi “trans” berpindah, hilang ingatan, lupa bahwa di ujung amal perbuatannya yang tulus, ada hasil lain yang layak ditagih olehnya selain sejuknya ketulusan itu sendiri.

Uniknya, di sinilah agaknya keadilan Allah hadir dengan feminin, lembut; tidak dengan berwibawa dan bermuatan ancaman atau hukuman, tetapi dengan bersahaja, bertaburkan keindahan dan keharuan. Kehadiran keadilan Allah seperti ini membuat sesuatu yang sederhana menjadi tidak sederhana: menjadi bermakna, dan abadi dalam ingatan.

Seperti kisah sahabat saya beberapa waktu lalu. Ia berdiri menunggu bus di halte, seperti biasa. Kepalanya dipenuhi oleh agenda program pekerjaan dan pemikiran yang harus diselesaikannya, seperti biasa. Yang tidak biasa adalah ketika seorang perempuan tua, yang mungkin lupa banyaknya uang yang telah disimpan di dompetnya, kehabisan uang dan mengulurkan tangan kepadanya: meminta. Teman saya itu sebetulnya orang yang paling berhati-hati untuk menyambut “peminta-minta”. Tetapi, ketulusan tiba-tiba memabukkannya sehingga ia sodorkan sepuluh ribu rupiah dari dompetnya, begitu saja. Lalu, karena sedang “mabuk” tentu saja ia lupa. Esoknya, ia baru sadar sesuatu yang abadi baru saja menyapanya dengan begitu nyata ketika di trotoar, selembar uang sepuluh ribu tak bertuan tersangkut di sepatunya, menjadi miliknya.

Seorang sahabat saya yang lain, juga punya pengalaman serupa. Isterinya, menawarkan dua buah sepeda bekas kepada tukang sampah langganan. “Dijual harganya nggak seberapa, lebih baik diberikan kepada yang membutuhkan. Semoga lebih ada nilainya,” timbang isterinya.

Si tukang sampah tak menampik. Belum beranjak tukang sampah itu dari rumah, isterinya teringat belum mengeluarkan sedekah bulan tersebut. Ia berikan sekalian ke tukang sampah. Haru dan nyaris tak sanggup membendung bulir air yang siap tumpah dari pelupuk mata ketika sang isteri mendengar ungkapan menggetarkan dari tukang sampah. “Alhamdulillah”, makan anak dan isteri dua Jumat ke depan terjamin nih, Bu, terima kasih. Jumat yang berkah buat saya, semoga hari ini keberkahan juga untuk ibu sekeluarga,” tuturnya berdoa. Uang tak seberapa, bagi orang lain, ternyata memberi jaminan hidup dua pekan!

Sore harinya, ketika teman saya mengambil tabungan di ATM, saldo tabungannya bertambah hampir enam kali dari yang pagi tadi dikeluarkan isterinya. Rupanya Jumat itu tidak hanya berkah bagi bapak tukang sampah, tapi juga keluarga sahabat saya. Mungkinkah Allah menjawab doa tukang sampah tersebut? Hanya Allah yang tahu.

Anda, masing-masing kita, saya yakin punya pengalaman pribadi tentang laku ketulusan itu. Ketulusan yang mengalir begitu saja, lantas menghadir-kan balasan yang manis. Minhaitsu laa-yahtasib, dari arah yang tiada disangka-sangka.

 Subhanallah, ketulusan itu sebetulnya sudah mengalir deras, tidak ada habisnya, dari balik tanah, bebantuan, dan hati Anda. Sudahkah Anda rasakan nikmatnya? Tak inginkah Anda mendapatkannya?

1coretanku.blogspot.com

0 Response to "Memberi Tanpa Pamrih"

Post a Comment